Minggu, 01 Juli 2012

Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia



 Urgensi Berekonomi Secara Islami
Dalam pandangan Islam, manusia merupakan khalifah Allah SWT di muka bumi (QS. 2:30). Allah SWT menciptakan bumi dan segala isinya untuk manusia (QS. 2:29) dan memberi kebebasan kepada manusia untuk mengelola sumber daya ekonomi yang tersedia di alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan membangun peradaban manusia ke arah yang lebih baik.
Manusia diberi kebebasan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan melakukan transaksi perekonomian sesama mereka (muamalah). Mengenai muamalah (kegiatan ekonomi) tersebut terdapat kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “Hukum ashal (awal/asli) dari muamalah adalah boleh (mubah) sampai ada dalil yang menyatakan sebaliknya. Artinya, segala kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil nash (Al-Quran dan sunnah) dan tujuan-tujuan syariah dalam perekonomian.
Tujuan-tujuan kegiatan ekonomi tersebut dapat dirumuskan menjadi 4 macam. Pertama, kegiatan ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas norma-norma moral Islami (QS. 2:60, 168, 172; 6:142; 7:31, 160; 16:114; 20:81; 23:51; 34:15; 67:15). Kedua, tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal (QS. 49:13). Ketiga, distribusi pendapatan yang seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan.. Keempat, tatanan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan social (QS. 7:157).

Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia
Secara sederhana, perkembangan itu dikelompokkan menjadi perkembangan industri keuangan syariah dan perkembangan ekonomi syariah non keuangan. Industri keuangan syariah relatif dapat dilihat dan diukur perkembangannya melalui data-data keuangan yang ada, sedangkan yang non keuangan perlu penelitian yang lebih dalam untuk mengetahuinya.
Di sektor perbankan, hingga saat ini sudah ada tiga Bank Umum Syariah (BUS), 21 unit usaha syariah bank konvensional, 528 kantor cabang (termasuk Kantor Cabang Pembantu (KCP), Unit Pelayanan Syariah (UPS), dan Kantor Kas (KK)), dan 105 Bank Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Aset perbankan syariah per Maret 2007 lebih dari Rp. 28 triliun dengan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) hampir mencapai 22 Triliun. Meskipun asset perbankan syariah baru mencapai 1,63 persen dan dana pihak ketiga yang dihimpun baru mencapai 1,64% dari total asset perbankan nasional (per Februari 2007), namun pertumbuhannya cukup pesat dan menjanjikan. Diproyeksikan, pada tahun 2008, share industri perbankan syariah diharapkan mencapai 5 persen dari total industri perbankan nasional.
Di sektor pasar modal, produk keuangan syariah seperti reksa dana dan obligasi syariah juga terus meningkat. Sekarang ini terdapat 20 reksa dana syariah dengan jumlah dana kelola 638,8 miliar rupiah. Jumlah obligasi syariah sekarang ini mencapai 17 buah dengan nilai emisi mencapai 2,209 triliun rupiah.
Di sektor saham, pada tanggal 3 Juli 2000 BEJ meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII). JII yang merupakan indeks harga saham yang berbasis syariah terdiri dari 30 saham emiten yang dianggap telah memenuhi prinsip-prinsip syariah. Data pada akhir Juni 2005 tercatat nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp325,90 triliun atau 43% dari total nilai kapitalisasi pasar di BEJ. Sementara itu, volume perdagangan saham JII sebesar 348,9 juta lembar saham atau 39% dari total volume perdagangan saham dan nilai perdagangan saham JII sebesar Rp322,3 miliar atau 42% dari total nilai perdagangan saham. Peranan pemerintah yang sangat ditunggu-tunggu oleh pelaku keuangan syariah di Indonesia adalah penerbitan Undang-undang Perbankan Syariah dan Undang-undang Surat Berharga Negara Syariah (SBSN).
Di sektor asuransi, hingga Agustus 2006 ini sudah lebih 30 perusahaan yang menawarkan produk asuransi dan reasuransi syariah. Namun, market share asuransi syariah belum baru sekitar 1% dari pasar asuransi nasional. Di bidang multifinance pun semakin berkembang dengan meningkatnya minat beberapa perusahaan multifinance dengan pembiayaan secara syariah. Angka-angka ini diharapkan semakin meningkat seiiring dengan meningkatnya permintaan dan tingkat imbalan (rate of return) dari masing-masing produk keuangan syariah.
Di sektor mikro, perkembangannya cukup menggembirakan. Lembaga keuangan mikro syariah seperti Baitul Mal wa Tamwil (BMT) terus bertambah, demikian juga dengan aset dan pembiayaan yang disalurkan. Sekarang sedang dikembangkan produk-produk keuangan mikro lain semisal micro-insurance dan mungkin micro-mutual-fund (reksa dana mikro).

Sisi Non-Keuangan
Industri keuangan syariah adalah salah satu bagian dari bangunan ekonomi syariah. Sama halnya dengan ekonomi konvensional, bangunan ekonomi syariah juga mengenal aspek makro maupun mikro ekonomi. Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana masyarakat dapat berperilaku ekonomi secara syariah seperti dalam hal perilaku konsumsi, giving behavior (kedermawanan), dan sebagainya. Perilaku bisnis dari para pengusaha Muslim pun termasuk dalam sasaran gerakan ekonomi syariah di Indonesia.
Walau terlihat agak lambat, namun sisi non-keuangan dalam kegiatan ekonomi ini juga semakin berkembang. Hal ini ditandai semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perilaku konsumsi yang Islami, tingkat kedermawanan yang semakin meningkat ditandai oleh meningkatnya dana zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang berhasil dihimpun oleh badan dan lembaga pengelola dana-dana tersebut.

Faktor Pendorong
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tidak terlepas dari beberapa faktor pendorong. Secara sederhana, faktor-faktor itu dkelompokkan menjadi faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal adalah penyebab yang datang dari luar negeri, berupa perkembangan ekonomi syariah di negara-negara lain, baik yang berpenduduk mayoritas Muslim maupun tidak. Negara-negara tersebut telah mengembangkan ekonomi syariah setelah timbulnya kesadaran tentang perlunya identitas baru dalam perekonomian mereka. Kesadaran ini kemudian ’mewabah’ ke negara-negara lain dan akhirnya sampai ke Indonesia.
Sedangkan faktor internal antara lain adalah kenyataan bahwa Indonesia ditakdirkan menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Fakta ini menimbulkan kesadaran di sebagian cendikiawan dan praktisi ekonomi tentang perlunya suatu ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dijalankan oleh masyarakat Muslim di Indonesia.
Di samping itu, faktor politis juga turut bermain. Membaiknya ”hubungan” Islam dan negara menjelang akhir milineum lalu membawa angin segar bagi perkembangan ekonomi dengan prinsip syariah.
Meningkatnya keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor pendorong berkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Munculnya kelas menengah Muslim perkotaan yang terdidik dan relijius membawa semangat dan harapan baru bagi industri keuangan syariah. Mereka mempunyai kesadaran bahwa agama bukan sekedar shalat, puasa, dan ibadah-ibadah mahdah lainnya saja. Tetapi, agama harus diterapkan secara kafah (holistik) dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam berekonomi.
Faktor berikutnya adalah pengalaman bahwa sistem keuangan syariah tampak cukup kuat menghadapi krisis moneter tahun 1997-1998. Bank syariah masih dapat berdiri kokoh ketika ”badai” itu menerpa dan merontokkan industri keuangan di Indonesia.
Di samping itu, faktor rasionalitas bisnis pun turut membesarkan ekonomi syariah. Bagi kelompok masyarakat yang tidak cukup dapat menerima sistem keuangan syariah berdasarkan ikatan emosi (personal attachment) terhadap Islam, faktor keuntungan menjadi pendorong mereka untuk terjun ke bisnis syariah.

Implikasi Bagi Perkembagan Ekonomi Nasional
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi nasional. Pertama, ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil.
Kedua, ekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran mereka karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly, seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya.
Ketiga, gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).

Note: Artikel lawas, beberapa data dan perkembangan belum diupdate seperti perkembangan industri keuangan syariah terakhir dan UU Sukuk dan Perbankan Syariah yang sekarang sudah disahkan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar